Last updated on November 3, 2018
Pendidikan dalam keluarga merupakan proses kaderisasi turun temurun. Berasal dari orang tua mendidik anak, kemudian anak mendidik anaknya sendiri. Anak akan merekam semua perlakukan, respon, pengetahuan, dan wawasan dari orang tua dan lingkungan, kemudian membentuk persepsi mengenai cara nya mendidik anak nya sendiri di masa depan. Oleh karena itu, pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menjadi cukup masuk akal.
Belajar Bersama Alkha
Ketika Papa Alkha kecil, dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sibuk dengan proses produksi dan reparasi. Setiap hari dia melihat seorang tukang merakit sepeda, sebagian lagi ada tukang kayu yang membuat kerajinan kayu, dan dia juga melihat tukang batu yang berpanas-panasan membuat pondasi rumah hingga meninggikan batu bata. Walau dahulu dia tidak dibimbing atau diarahkan atau diajak bermain secara khusus oleh Bapak nya, namun mungkin karena dia seorang anak laki-laki, maka proses konstruksi berbagai macam benda itu terasa sangat menarik. Dan kali ini, Papa-Alkha ingin mengantarkan pengalaman masa kecilnya agar juga dapat dilalui oleh Alkha. Mungkin itulah yang membuat Papa Alkha selalu dianggap keren oleh Alkha. Selalu memberikan wawasan baru, permainan baru, tontonan baru, dan aktivitas baru.
Perbedaan masa kecil nya dengan Alkha, cukup banyak. Karena ada si Mama yang menjadi pengontrol ketika si Papa ingin mengenalkan berbagai macam hal fisik kepada Alkha. Pada dasarnya, si Mama sangat menjaga implan koklea yang bisa jadi berumur lebih pendek jika terus berada di lingkungan berdebu dan banyak mengeluarkan keringat; sedangkan, dulu Eyang Putri membebaskan seluruh kegiatan Papa Alkha selama tidak melakukan hal-hal yang berbahaya.
Papa Alkha sangat bersyukur memiliki istri yang cerdas dan peduli dengan alat elektronik yang memberikan Alkha akses mendengar yang lebih baik. Tapi proses belajar di lingkungan nyata, saya pikir harus dikenalkan kepada Alkha agar dia dapat menjadi anak yang adaptif, cekatan dan berjiwa kreatif. Saya pikir, kegiatan di toko, di bengkel, dan lokasi konstruksi lebih memudahkan anak membangun kreativitas dan jiwa entrepeneur. Akhirnya, Papa Alkha harus menjadi orangtua adaptif terlebih dulu, tidak mementingkan ego sendiri dan memperhatikan permintaan Mama Alkha untuk juga menjaga alat implan koklea.
Legend Heroes, Marvell, DC, Ultraman
Alkha sekarang menjadi fans junior dari karakter superhero, ini juga merupakan tanggungjawab Papa Alkha (sambil garuk-garuk kepala, haha). Tahun 90-an merupakan masa emas acara anak-anak di stasiun televisi, dikatakan bahwa masa itu merupakan masa paling menginspirasi bagi anak-anak zaman old. Orang tua milenial pasti tahu siapa itu Ksatria Baja Hitam, Macgyver, Knight Rider, dll. Papa Alkha menyadari sisi plus dan sisi minus mengenalkan karakter superhero sejak dini. Minus nya, pengeluaran seperti kaos dan mainan menjadi sedikit membengkak daripada biasanya (terlanjur, haha). Plus nya, kami memiliki bahan negosiasi, terutama dalam hal belajar bersama Alkha, jadwal terapi, dan sekolah. Bisa dibayangkan tidak, jika anak tidak memiliki hasrat dan imajinasi? Kira-kira apa yang mau dinegosiasikan? Misalnya, “Belajar dulu, setelah itu buat ultraman dari kardus”. “Baca dulu, setelah itu beli topeng ultraman”. As simple as that, sederhana tho…
Dari film Legend Hero, Marvell, dan DC, semua karakter antagonis adalah manusia jahat. Nah, karakter Ultraman sengaja Papa Alkha kenalkan agar dia mau meniru suara monster. Suara mengeram (growl like monster), menurut Carrie Clark, CCC-SLP, dapat membantu anak berlatih mengucap bunyi /k/ dan /g/. Anak diajak mengeluarkan suara monster secara terus menerus hingga serak-serak di tenggorokan. Nah, kami buat dulu mainan dari kardus agar anak tahu apa itu Ultraman dan tahu apa itu monster. Setelah itu kami ajak dia mengeluarkan suara monster, aaaarrggghhhhh… Coba simak video ini.
Bermain Menggunakan Kertas dan Kardus
Alhamdulillah, Papa nya ini cukup tahu cara memegang cutter dan gergaji karena pengalaman membuat mainan sendiri sejak SMP. Alhamdulillah diberikan kelonggaran waktu sehingga dapat belajar bersama Alkha. Setiap selesai belajar, kami membuat mainan kardus bersama, tergantung hasil negosiasi antara Papa-Mama dengan Alkha. Alkha selalu dilibatkan dalam proses memilih karakter di laptop, mencetaknya di kertas, dan mengelem. Bagian memotong kardus masih Papa Alkha yang melakukan, mengingat tajam nya cutter yang bisa jadi melukai tangan Alkha yang mungil.
Alkha Bantu Jualan di Toko?
Kami bersyukur, Alkha tumbuh menjadi anak yang percaya diri, kemana-mana pakai baju superhero, ada juga baju yang bersayap. Dia tidak introvert dan tidak takut bertemu orang baru. Kami selalu bercerita mengenai kondisi Alkha kepada kolega bisnis. Dan jika ada pembeli di toko sedang kepo, maka kami tidak segan menjelaskan tentang alat yang digunakan Alkha, sekaligus soft campaign tentang bahaya virus Rubella dan pentingnya Vaksi MR.
Bertemu banyak orang menjadi kesempatan bagi nya untuk mengenal lebih banyak karakter suara. ‘Kan setiap orang memiliki frekuensi suara yang berbeda dan logat yang berbeda. Kami juga memiliki kesempatan untuk memberikan contoh kepadanya bagaimana cara berkomunikasi secara dua arah. Mengajari Alkha untuk tidak menyela pembicaraan dan meminta nya agar diam ketika orang tua nya sedang berbicara dengan orang lain dan duduk manis ketika pelayanan di toko sedang ramai (how to behave). Walaupun kemampuan adaptif nya belum sempurna, kami meyakini kegiatan itu sedikit-banyak akan membentuk karakternya di masa depan.
Umurnya Berapa?
Setelah bulan Agustus dilewati, Alkha menginjak usia 4 tahun. Tapi ketika ditanya,”Umur nya berapa?” Dia menjawab 3 tahun”. (Haha). Jadi kami buat permainan tiup lilin ulang tahun dengan mainan kue dari kardus. Permainan ini sekaligus untuk melatih pernafasannya. Setelah jadi, kami pasang lilin berangka 4 dan dinyalakan. “Sekarang Alkha umur nya 4 tahun, ya”. Kegiatan itu diulang-ulang sehingga sekarang dia paham kalau umurnya sekarang 4 tahun. Yeay… Berhasil. Oiya, tutorial membuat kue tart dari kardus bisa dilihat disini.
Tentang Membaca
Konon, Ibu nya Papa Alkha mengajari membaca sejak TK dan memberi pelajaran membaca setiap hari waktu malam (hahaha, tidak ingat). Nah, sekarang kami mulai mengajari Alkha untuk mengenal huruf per huruf, suku-kata demi suku-kata berusia. Melalui permainan dan karakter superhero, dia belajar identifikasi huruf sambil bermain. Bila anak melakukan penolakan, maka Papa dan Mama main sendiri saja. Caranya, cueki saja si Alkha. Si anak yang awalnya menolak, lama kelamaan akan mendekat dan ikut bermain. Pernah suatu ketika kami membutuhkan waktu sekitar 20 menit hingga akhirnya Alkha mau bermain bersama kami. Lama juga ya??
Berbicara tentang membaca, kemarin kami mengikutkan Alkha les-baca-AHE selama satu minggu, di sela libur dari terapi. Dengan menggunakan metode dasar dari Glenn Doman, si anak belajar membaca per suku kata. Les baca ini kebetulan dikelola oleh adik kelas, jadi beliau sama sekali tidak mempertanyakan kemampuan Alkha, pokoknya diterima masuk les, haha. Karena Alkha sudah cukup memahami bunyi fonik tiap huruf, maka ketika dalam suku kata si anak tidak mengalami kebingungan karena bunyi nya kan menjadi berbeda. Alkha kami ajari huruf /b/ berbunyi beh, /c/ berbunyi ceh, dimana “eh” ini tipis. Bagi anak yang menggunakan implan koklea, frekuensi ini insyaAllah terdengar. Ketika /b/ + /a/ maka sebenarnya berbunyi “beh-a” tapi bila diucap secara cepat maka berbunyi “ba”.
Membaca per huruf ini sebenarnya metode membaca fonik dari bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris memiliki sangat banyak kata dengan 3 huruf, maka metode membaca fonik sangatlah cocok. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang didominasi 2 suku kata hingga 3 suku kata. Intinya saya manut lah metode yang digunakan tempat les baca karena tidak bertentangan dengan yang kami ajarkan ketika belajar bunyi fonik. Agar semakin memahami yang kami maksud membaca per huruf, Ayah dan Bunda bisa menyimak video ini.
Jujur saja ya, masih ada beberapa Pekerjaan Rumah yang belum mampu kami sediakan, yakni (1) ruang khusus terapi AVT di rumah, (2) jadwal harian rutin yang disepakati bersama antara Papa-Mama-Alkha. Dua hal tersebut saat ini masih menjadi prioritas kami ke depan. Ruang khusus AVT ini pernah disinggung oleh beberapa orang tua, seperti Papa Haydar dan Mama Annisa. Tujuannya ialah agar anak mendapati kondisi yang hampir sama ketika sedang terapi AVT di tempat terapi. Tidak perlu ruangan yang besar, tidak perlu kedap suara 100 persen. Yang terpenting, tempat terapi di rumah itu khusus digunakan setiap hari pada jam yang sama agar anak memiliki rutinitas dan target yang terarah setiap hari nya.